Senin, 17 Desember 2012

Jejak Masa Lalu Mataram Nyaris Tak Berbekas

TIAP kali ke Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Bambang Soemadio (almarhun), mantan Direktur Permuseuman tahun 1980-an, sangat terkesan dengan Jalan Pejanggik. Jalan protokol ini lurus, di kiri-kanannya ditumbuhi pohon kenari nan rindang dan teduh. Suasana itu dinilai trade mark yang membedakannya dengan kota lain di Tanah Air. 
   
   Malah, Fathurrahman Zakaria, dalam bukunya Mozaik Budaya Orang Mataram
   melukiskan, bagaimana rombongan turis asal Belanda, yang memeluk,
   menjepret dan mengabadikan dengan kamera video, pohon yang ditanam
   sekitar tahun 1897 saat Belanda menguasai Lombok.
   
   Ilustrasi itu agaknya ingin mengingatkan bahwa identitas sebuah kota
   bukan dilihat dari mal, pusat perbelanjaan, perkantoran, dan rumah
   bertingkat yang mewah, namun yang lebih penting adalah perimbangan
   antara ruang tertutup dan ruang terbuka seperti adanya taman yang
   mendukung keindahan, kebetahan warganya, atau paling tidak mata bebas
   melempar pandangan.
   


   Mataram yang kini berstatus kotamadya dengan luas 6.130 hektar terdiri
   Kecamatan Cakranegara, Mataram, dan Ampenan. Tuntutan perkembangan
   zaman, kota berpenduduk 299.148 jiwa (1999) ini banyak berubah secara
   fisik. Hanya saja, perubahan yang ditandai dengan pembangunan
   infrastruktur bergaya modern itu tampaknya seperti asal bangun.
   Fasilitas umum yang mestinya dijadikan identitas kota malah
   dimusnahkan, sehingga generasi yang lahir tahun 1980-an susah merunut
   lagi secara fisik Kota Mataram.
   
                                    ***
                                      
   SEBUTLAH di kompleks pertokoan Cakranegara, sebelum tahun 1975
   terdapat terminal dalam-luar kota. Mungkin jumlah sarana angkutan
   terbatas saat itu, suasana kompleks terminal tampak teratur dan
   bersih. Pedagang kaki lima berjualan makanan dan minuman pada malam
   hari di dalam kompleks itu.
   
   Bus dalam kota rute Cakranegara, Mataram, dan Ampenan, tidak perlu
   melewati jalur tertentu atau satu arah seperti sekarang, melainkan
   bisa ditempuh pulang-pergi lewat satu jalan: Jalan Langko, Pejanggik,
   dan Selaparang.
   
   Ruang terbuka publik pun tersedia di berbagai tempat, seperti di
   lapangan Karang Jangkong, Kecamatan Cakranegara, untuk arena pacuan
   kuda. Kini alun-alun itu berganti fungsi menjadi mal.
   
   Ruang sejenis terdapat di Mataram, berupa lapangan untuk olahraga,
   tepatnya di Kantor Bank Indonesia Cabang Mataram sekarang. Sekitar 300
   meter ke barat dari lapangan itu ada arena terbuka, antara lain
   dijadikan arena pertandingan ataupun permainan tradisional
   memperingati HUT Kemerdekaan RI tiap tanggal 17 Agustus.
   
   Di depan alun-alun itu berdiri megah Masjid At Taqwa yang
   arsitekturnya mirip Masjid Syuhada di Yogyakarta. Kini masjid itu
   sudah berubah wajah, tinggal namanya yang diabadikan, namun tidak
   meninggalkan sedikit pun arsitektur lamanya.
   
   Ke timur dari masjid ini ada gedung-gedung tua peninggalan Belanda.
   Misalnya Kantor Asisten Residen Lombok beserta Gereja Katolik. Kantor
   itu sekarang dijadikan Markas Kodim 1606 Lombok Barat. Di depan kantor
   ini ditentukan titik nol (nol kilometer) untuk satuan jarak antarkota
   di Pulau Lombok.
   
   Rumah jabatan Asisten Residen berlokasi di Pendopo atau kediaman
   Gubernur NTB sekarang. Di depannya ada taman bunga yang cukup luas dan
   indah yang disebut Kebun Raja. Kini tempat ini dijadikan Kantor
   Gubernur NTB.
   
   Di barat pendopo tadi berdiri Kantor Kontrolir Lombok Barat dan di
   sebelahnya ada Gereja Protestan. Berhadapan langsung dengan bangunan
   ini adalah rumah jabatan Sang Kontrolir. Dua bangunan itu
   masing-masing dijadikan Kantor Wali Kotamadya Mataram dan tempat
   tinggal wali kota. Sisa bangunan lama tidak berbekas lagi.
   
   Sarana semacam yang umumnya dibangun untuk kepentingan Belanda, juga
   ada di Kecamatan Ampenan, yang merupakan kota pelabuhan. Di simpang
   lima Ampenan ada Kantor Bea Cukai dengan arsitektur gaya Eropa awal
   abad ke-19, kini dijadikan Kantor Pegadaian.
   
   Menuju arah pelabuhan berderet pertokoan yang didiami pengusaha
   keturunan Cina. Salah satu yang pernah dikenal adalah Rumah Candu,
   tempat orang Cina mengisap (madat) candu. Mereka yang masuk rumah ini
   dikenai pajak/cukai yang tinggi. Di pesisir Ampenan juga dibangun
   perkantoran untuk swasta dan pemerintah seperti Kantor Handles Bank,
   Kantor Bea Cukai.
   
   Bangunan-bangunan di kompleks pelabuhan, seperti pintu gerbang
   (pelengkung) masuk pelabuhan hampir semua tinggal puing-puing.
   Kalaupun masih ada, fasilitas fisik ini diubah, diganti menurut selera
   masing-masing 'pemiliknya', contohnya Kantor Bea Cukai/Pegadaian tadi.
   Ampenan malah dijadikan merek dagang sejumlah komoditas seperti
   kedelai ampenan, beras ampenan, kacang tanah ampenan, dan sapi
   ampenan.
   
                                    ***
                                      
   KALAU mau jujur, maka harus diakui bahwa benang merah yang bisa
   direntangkan dari bangunan dan lokasinya, adalah soal pengaturan tata
   ruang. Sebutlah di Cakranegara, permukiman penduduk dirancang untuk
   mengantisipasi persoalan di masa mendatang. Terlihat dari jalan yang
   memisahkan antarpermukiman, yang merupakan kanal guna menghindari
   kemacetan lalu lintas perkotaan.
   
   Para perancang, baik semasa Lombok di bawah Kerajaan Karang Asem
   maupun pemerintahan kolonial-terlepas dari kepentingan politik
   masing-masing penguasa saat itu-telah meletakkan dasar pembangunan
   kota dengan mempertimbangkan asas manfaat keberadaan sarana dan
   prasarana seperti ruang terbuka dan taman kota untuk kepentingan
   publik, paru-paru kota, keasrian dan keindahan kota.
   
   Mereka agaknya menghindari aktivitas asal bangun, dan tradisi ganti
   pimpinan ganti kebijakan seperti kecenderungan yang terjadi dewasa
   ini. Itu misalnya terlihat pada pembangunan mal di Jalan Udayana,
   mendirikan taman di seputar lapangan umum Mataram, menjadikan kota
   yang luasnya enam kilometer persegi itu bertambah sumpek dan sempit.
   
   Pendapat dan kesan orang seperti diuraikan pada awal tulisan
   setidaknya menunjukkan Mataram telah memiliki identitas. Kacamata
   'orang luar' itu bukan untuk merajut kenangan dan romantisme masa
   silam, tetapi merupakan referensi bagi perencanaan tata ruang kawasan
   yang lebih detail, lalu dipatuhi semua kalangan (pemerintah dan warga
   kota).
   
   Syukur-syukur peninggalan bangunan dan kerindangan pohon kenari di
   jalan protokol mengilhami orang untuk merekonstruksi jejak masa lampau
   Mataram yang nyaris tak berbekas. Kotamadya Mataram sendiri tanggal 31
   Agustus 2001 lalu berusia delapan tahun. (Khaerul Anwar)