TIAP kali ke Mataram, Nusa
Tenggara Barat (NTB), Bambang Soemadio (almarhun), mantan Direktur Permuseuman tahun 1980-an, sangat
terkesan dengan Jalan Pejanggik. Jalan protokol ini lurus, di kiri-kanannya
ditumbuhi pohon kenari nan rindang dan teduh. Suasana itu
dinilai trade mark yang membedakannya dengan kota lain di Tanah Air.
Malah, Fathurrahman Zakaria, dalam bukunya Mozaik Budaya Orang Mataram
melukiskan, bagaimana rombongan turis asal Belanda, yang memeluk,
menjepret dan mengabadikan dengan kamera video, pohon yang ditanam
sekitar tahun 1897 saat Belanda menguasai Lombok.
Ilustrasi itu agaknya ingin mengingatkan bahwa identitas sebuah kota
bukan dilihat dari mal, pusat perbelanjaan, perkantoran, dan rumah
bertingkat yang mewah, namun yang lebih penting adalah perimbangan
antara ruang tertutup dan ruang terbuka seperti adanya taman yang
mendukung keindahan, kebetahan warganya, atau paling tidak mata bebas
melempar pandangan.
Mataram yang kini berstatus kotamadya dengan luas 6.130 hektar terdiri
Kecamatan Cakranegara, Mataram, dan Ampenan. Tuntutan perkembangan
zaman, kota berpenduduk 299.148 jiwa (1999) ini banyak berubah secara
fisik. Hanya saja, perubahan yang ditandai dengan pembangunan
infrastruktur bergaya modern itu tampaknya seperti asal bangun.
Fasilitas umum yang mestinya dijadikan identitas kota malah
dimusnahkan, sehingga generasi yang lahir tahun 1980-an susah merunut
lagi secara fisik Kota Mataram.
***
SEBUTLAH di kompleks pertokoan Cakranegara, sebelum tahun 1975
terdapat terminal dalam-luar kota. Mungkin jumlah sarana angkutan
terbatas saat itu, suasana kompleks terminal tampak teratur dan
bersih. Pedagang kaki lima berjualan makanan dan minuman pada malam
hari di dalam kompleks itu.
Bus dalam kota rute Cakranegara, Mataram, dan Ampenan, tidak perlu
melewati jalur tertentu atau satu arah seperti sekarang, melainkan
bisa ditempuh pulang-pergi lewat satu jalan: Jalan Langko, Pejanggik,
dan Selaparang.
Ruang terbuka publik pun tersedia di berbagai tempat, seperti di
lapangan Karang Jangkong, Kecamatan Cakranegara, untuk arena pacuan
kuda. Kini alun-alun itu berganti fungsi menjadi mal.
Ruang sejenis terdapat di Mataram, berupa lapangan untuk olahraga,
tepatnya di Kantor Bank Indonesia Cabang Mataram sekarang. Sekitar 300
meter ke barat dari lapangan itu ada arena terbuka, antara lain
dijadikan arena pertandingan ataupun permainan tradisional
memperingati HUT Kemerdekaan RI tiap tanggal 17 Agustus.
Di depan alun-alun itu berdiri megah Masjid At Taqwa yang
arsitekturnya mirip Masjid Syuhada di Yogyakarta. Kini masjid itu
sudah berubah wajah, tinggal namanya yang diabadikan, namun tidak
meninggalkan sedikit pun arsitektur lamanya.
Ke timur dari masjid ini ada gedung-gedung tua peninggalan Belanda.
Misalnya Kantor Asisten Residen Lombok beserta Gereja Katolik. Kantor
itu sekarang dijadikan Markas Kodim 1606 Lombok Barat. Di depan kantor
ini ditentukan titik nol (nol kilometer) untuk satuan jarak antarkota
di Pulau Lombok.
Rumah jabatan Asisten Residen berlokasi di Pendopo atau kediaman
Gubernur NTB sekarang. Di depannya ada taman bunga yang cukup luas dan
indah yang disebut Kebun Raja. Kini tempat ini dijadikan Kantor
Gubernur NTB.
Di barat pendopo tadi berdiri Kantor Kontrolir Lombok Barat dan di
sebelahnya ada Gereja Protestan. Berhadapan langsung dengan bangunan
ini adalah rumah jabatan Sang Kontrolir. Dua bangunan itu
masing-masing dijadikan Kantor Wali Kotamadya Mataram dan tempat
tinggal wali kota. Sisa bangunan lama tidak berbekas lagi.
Sarana semacam yang umumnya dibangun untuk kepentingan Belanda, juga
ada di Kecamatan Ampenan, yang merupakan kota pelabuhan. Di simpang
lima Ampenan ada Kantor Bea Cukai dengan arsitektur gaya Eropa awal
abad ke-19, kini dijadikan Kantor Pegadaian.
Menuju arah pelabuhan berderet pertokoan yang didiami pengusaha
keturunan Cina. Salah satu yang pernah dikenal adalah Rumah Candu,
tempat orang Cina mengisap (madat) candu. Mereka yang masuk rumah ini
dikenai pajak/cukai yang tinggi. Di pesisir Ampenan juga dibangun
perkantoran untuk swasta dan pemerintah seperti Kantor Handles Bank,
Kantor Bea Cukai.
Bangunan-bangunan di kompleks pelabuhan, seperti pintu gerbang
(pelengkung) masuk pelabuhan hampir semua tinggal puing-puing.
Kalaupun masih ada, fasilitas fisik ini diubah, diganti menurut selera
masing-masing 'pemiliknya', contohnya Kantor Bea Cukai/Pegadaian tadi.
Ampenan malah dijadikan merek dagang sejumlah komoditas seperti
kedelai ampenan, beras ampenan, kacang tanah ampenan, dan sapi
ampenan.
***
KALAU mau jujur, maka harus diakui bahwa benang merah yang bisa
direntangkan dari bangunan dan lokasinya, adalah soal pengaturan tata
ruang. Sebutlah di Cakranegara, permukiman penduduk dirancang untuk
mengantisipasi persoalan di masa mendatang. Terlihat dari jalan yang
memisahkan antarpermukiman, yang merupakan kanal guna menghindari
kemacetan lalu lintas perkotaan.
Para perancang, baik semasa Lombok di bawah Kerajaan Karang Asem
maupun pemerintahan kolonial-terlepas dari kepentingan politik
masing-masing penguasa saat itu-telah meletakkan dasar pembangunan
kota dengan mempertimbangkan asas manfaat keberadaan sarana dan
prasarana seperti ruang terbuka dan taman kota untuk kepentingan
publik, paru-paru kota, keasrian dan keindahan kota.
Mereka agaknya menghindari aktivitas asal bangun, dan tradisi ganti
pimpinan ganti kebijakan seperti kecenderungan yang terjadi dewasa
ini. Itu misalnya terlihat pada pembangunan mal di Jalan Udayana,
mendirikan taman di seputar lapangan umum Mataram, menjadikan kota
yang luasnya enam kilometer persegi itu bertambah sumpek dan sempit.
Pendapat dan kesan orang seperti diuraikan pada awal tulisan
setidaknya menunjukkan Mataram telah memiliki identitas. Kacamata
'orang luar' itu bukan untuk merajut kenangan dan romantisme masa
silam, tetapi merupakan referensi bagi perencanaan tata ruang kawasan
yang lebih detail, lalu dipatuhi semua kalangan (pemerintah dan warga
kota).
Syukur-syukur peninggalan bangunan dan kerindangan pohon kenari di
jalan protokol mengilhami orang untuk merekonstruksi jejak masa lampau
Mataram yang nyaris tak berbekas. Kotamadya Mataram sendiri tanggal 31
Agustus 2001 lalu berusia delapan tahun. (Khaerul Anwar)