Oleh: Daud Azhari, SH.
a. Geografis dan Keadaan Tanah
Pulau Lombok
adalah salah satu dari gugusan kepulauan Nusantara yang terletak di sebelah
timur Pulau Bali dan sebelah barat Pulau Sumbawa. Di sebelah utara berbatasan
dengan Laut Jawa dan Samudara Hindia di sebelah selatan. Di pulau ini terdapat
tiga kabupaten yakni, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, dan
Kabupaten Lombok Timur, dan satu Kotamadya yaitu ; Kotamadya Mataram. Kota
Mataram merupakan ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penduduk Pulau Lombok
mayoritas Suku Sasak, di samping itu ada Suku Bali, Jawa, Sumbawa, Arab, dan
Cina. Lapangan pekerjaan utama masyarakat Lombok adalah petani, nelayan,
kerajinan tangan, pertukangan, dan jual-beli.
Sejarah
pembentukan daerah ini tidak lepas dari politik dan system pemerintahan yang
pernah ada. Pada tanggal 19 Agustus 1945 dua hari setelah proklamasi
kemeerdekaan Pulau Bali, Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau Flores, Pulau Timor
Rote, Pulau Sumba, dan Pulau Sawu digabung ke dalam Provinsi Sunda Kecil dengan
ibukota di Singaraja Bali dan dipimpin oleh seorang Gubernur I Gusti Ketut
Pudja. Pada tanggal 14 Agustus 1958 provinsi ini kemudian dipecah menjadi tiga
provinsi yaitu, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Di pulau ini
terdapat dua geologi utama yaitu, lingkungan gunung berapi di sebelah utara dan
lingkungan rendah tua di bagian selatan. Daerah yang paling berpengaruh dengan
adanya gunung berapi di lapisan atasnya dan bergunung tua di lapisan bawah
adalah Gunung Rinjani, Gunung Pinikan, dan Gunung Nangi. Dan pegunungan bagian
selatan merupakan daerah geologi yang terutama tersusun dari batuan tertier
yang gunung terdiri dari Gunung Mareje dan Gunung Sasak.
Ditilik dari
iklimnya Pulau Lombok merupakan daerah yang beriklim tropis. Ada dua nusim yang
mempengaruhi daerah ini sepanjang tahun yaitu musim hujan pada bulan November
sampai dengan bulan April dan musim kemarau antara bulan Mei sampai dengan
bulan Oktober. Musim basah berkisar antara bulan April dan bulan November.
Sungai-sungai
di pulau ini ada yang bermuara ke utara seperti sungai (kokok disingkat K) K.
Puleh, K. Sosong, K. Sengak, K. Amor-amor, K. Ree, k. Muntur, K. Rasing, K.
Salut, K. Mayung, dan K. Rajak. Yang bermuara ke sebelah selatan barat : K.
Meninting, K. Jangkuk, K. Sesaot, K. Babak, K. Dodokan, K. Jelanteng, dan K.
Air Sayang. Yang bermuara ke selatan : K. Menanga dan K. Gianti. Dan yang bermuara
ke sebelah timur dan tenggara : K. Leper, K. Deso, K. Meringgik, K. Tebusilung,
K. Jurangkaol, K. Aik Amapak, K. Palung, dan K. Tonggak.
b. Adat Istiadat
Masyarakat
Pulau Lombok terutama etnis Sasak yang tinggal di desa-desa sangat
mempertahankan adat-istiadat dan system norma dalam kehidupan kesehariannya.
Masing-masing dusun atau desa mempunyai awiq-awiq dusun (aturan dusun atau
desa) yang ditetapkan oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat dan bagi
mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi sesuai kesepakatan.
System
pelapisan social (Social Startification) tradisional masyarakat Suku Sasak
berasaskantriwangsa. Asas Triwangsa (tiga keturunan) pada masyarakat Suku Sasak
umumnya terdiri dari :Pertama, tingkat tertinggi yang termasuk didalamnyaRaden
atauDatu. Strata tertinggi ini biasanya dipanggilRaden atau
Danune bagi
kaum laki-laki dan dende untuk kaum perempuan.Kedua, tingkat perdana yang
termasuk di dalamnyapermenak danperbapa. Sedangkan kaum perempuan dari strata
kedua ini sering disebutlale ataubaiq dan jika telah kawin dipanggil mamiq
bini.Ketiga, tingkat kaula bala yang terdiri dari jajar karang dan panjak pinak
(hamba sahaya). Masyarakat dari tingkat ini sering dipanggilLok untuk laki-laki
yang belum kawin, danle bagi perempuan yang belum kawin. Dan jika telah kawin
maka akan dipanggilam aq untuk daninaq untuk perempuan.
Penetapan
pelapisan social berdasarkan keturunan ini kemudian diaplikasikan pada tatanan
yang normative yang sering disebut aji krame1. Dalam catatannya tentang aji
kramenya masing-masing strata. Masyarakat yang berasal ari strata terendah
(sepangan atau panajak) atau yang disebut strata perwangsa perbapa dengan aji
karma 66 samapi 99, dan yang tertinggi strata perwangsa permenak atau datu
raden dengan aji karma 100 sampai 200.162. Namun demikian, menurut Gde Parman
terjadi Aji Krama sebagai lambang adat antara daerah dengan daerah lain. Di
Desa Pujut atau Bon Jeruk Raden aji kramanya 200 (ini sudah tidak ada) , Menak
aji kramenya 100, Perbape sebesar 66, Perdanan sebesar 50, Jajar Karang sebesar
33-7/400, dan Sepangan sebsar 3/400 (sudah tidak ada). Di Gerung dan Kuripan ;
Raden : 200 (sudah tidak ada). Di Praya ; Raden (sudah tidak ada), Permenak :
100, Perwangsa : 66, Jajar Karang : 33, dan Sepangan : 17. Dan di Tanjung Lombok
Utara : Datu : 10.000, Raden : 8.000, Luput : 6.850, dan Perjaka : 4.850. dan
yang merupakan consensus, pokok-pokok aji karma tersebut adalah : Raden : 200,
Permenak : 100, Perbape : 66, dan Jajar Karang : 33, serta Sepangan : 173.
Asas Triwangsa
sebagai pelapisan social tradisional menentukan keturunan dari garis laki-laki.
Artinya anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan akan mengikuti nasab
(pertalian darah) pihak laki-laki (bapaknya), sehingga jika seorang laki-laki
yang berstrata Lalu atau Gede mengawini wanita berstrata Jajar Karang maka anak
yang lahir tersebut akan mengikuti strata bapaknya. Anak yang dilahirkan dapat
dipanggil Lalu, Gede, Baiq, atau Lale. Sebaliknya jika laki-laki berstrata
Jajar Karang mengawini wanita berstrata raden atau permenak, maka anak yang
dilahirkan tidak mengikuti strata ibunya, melainkan akan mengikuti strata
ayahnya.
System
perkawinan seperti ini memang sering kali menimbulkan konflik serta prcekcokan
antara kedua belah pihak yang bahkan sering kali menimbulkan peemutusan tali
kekeluargaan. Dan perwaliannya pun tidak jarang diserahkan kepada wali hakim
(wali ‘adilal). Dan system ini selalu menjadi tumbal kritikan dari berbagai
kalangan karena dianggap sebagai warisan dari ajaran Hindu-Bali yang
mengabsahkan adanaya kasta (pelapisan dari aspek keturunan). Dan dalam nada
kualitas kedirian manusia sebagai hamba dan sekaligus khalifah yang mempunyai
kewajiban dan hak yang sama.
Sejalan
dengan perkembanagn pemikiran dan orientasi hidup, selain pelapisan social yang
tradisional yang berdasarkan keturunan (triwangsa) diatas, pada umumnya di
masyarakat Suku Sasak terdapat pelapisan sosialnya ; seperti pelapisan social
berdasarkan kedudukan dan kemampuan ekonomi. Namun demikian factor usia tetap
menjadi ukuran. Menghormati orang tua atau yang seuisa sangat diperhatikan dan
ditaati oleh masyarakat Sasak. Hal ini tampak dalam hubungan dnegan kekerabatan
di lingkungan pergaulan dan rumah tangga.
c. Pranata Sosial
1. Kehidupan
Keluarga
Keluarga
terkecil (ayah, Ibu, dan anak-anak) bagi orang Sasak meruoakan sebagian yang
snagat diperhatikan. Mereka tinggal dalam satu ruamh tangga yang disebut bale
(rumah). Anak yang membangun rumah tangga (suami-istri) untuk sementara waktu
akan bersama keluarga besarnya sampai pada akhirnya dianggap mampu untuk
berdiri sendiri. Dan jika telah berdiri sendiri, maka dia akan menjadi keluarga
baru yang bertanggungjawab terhadap kelangsungannya. Hubungan-hubungan garis
keturunan terbentuk atas dasar pertalian darah (semeton kuni) dan perkawinan.
Hubungan keluarga dari semeton kuni merupakan hubungan kekerabatan dalam arti
biologis yang dijalin atau dasar satu sumber darah, yaitu dari orang tua yang
sama. Sedangkan hubungan hubungan kekerabatan dengan perkawinan merupakan
hubungan dalam arti sosiologis yang terjadi karena adanya perkawinan.
Rumpun
kerabat (keluarga) dibangun atas pandangan kosmogini segi empat yang dikenal
dengan empat generasi orang tua (nenek), empat garis anak cucu, dan empat lapis
sepupu ari satu talian darah. Pungutan garis kekerabatan ini sering dirangkai
dengan mengadakan acara-acara seperti :pertama , acara keluarga yang
diselenggarakan pada acara adat perkawinan, kematian (kepaten) anggota, dan
khitanan anak, serta daur hidup keluarga baru ;kedua, pada acara keagamaan seperti
: Maulid Nabi dan Isra Mi’raj.
Istilah-istilah
kekerabatan orang Sasak seperti di bawah ini ;am aq untuk sebutan ayah,inaq
untuk ibu, semeton kuni untuk saudara kandung, naken untuk anak-anak saudara
kandung dan tiri, anak sepupu sekali, atau anak sepupu dua kali,tuak dan amaq
kake (amaq rari) untuk sebutan-sebutan sarudara ayah, dan kadang-kadang varian
panggilan tersebut terjadi perbedaan antraa satu tempat dengan lainnya.
2.
Perkawinan.
Dalam Kitab
Adat Sasak Dulang I Perkawinan yang ditulis oelh Gde Perman disebutkan ada
beberapa macam cara orang Sasak yang akan melakukan perkawinan. Cara-cara
tersebut ada yang baik (solah) dan masih berlaku dan ada yang tidak baik.
Cara-cara tersebut anatara lain :
1. Cara Teperondong
atau disebutkan jugatabulungan atautasegar yaitu suatu cara dimana seseorang
yang menikah (merari’) laki-laki atau perempuan tersebut telah dijanjiakn sejak
kecilnya. Biasanya yang melakukan perkawinan cara ini adalah mereka yang ada
pertalian carah dan secara suka sama suka ;
2. Cara Kepanjing
yaitu seorang anak perempuan yang dianggap cantik diambil begitu saja oleh para
datu (penguasa) dengan cara pemaksaan. Cara ini sudah ditinggalkan, karena
dianggap sudah tidak cocok dan bertentangan dengan ajaran agama Islam ;
3. Cara Kahambil
yaitu seorang anak gadis orang dari lapisan Jajar Karang diambil oleh lapis
yang lebih tinggi (datu raden atau menak-perbape) hanya dengan proses
musyarawarah, namun tetap atas persetujuan si perempuan tanpa paksa ;
4. Cara Merari’
atauMemaling yaitu seorang anak gadis (dedare) atau seorang janda (bebalu)
diambil secara diam-diam ; tidak diketahui oleh bapak dan ibunya serta sanak
saudaranya. Cara ini masih berlangsung dan banyak dilakukan oleh orang-orang
Sasak4.
5. Cara Bekako’
atau disebut jugaMemadik danNgelamar yaitu perkawinan dengan cara si gadis
diminta (lako’) pada orang tuanya. Adapun ketentuan urutan belako’ sebagai
berikut : a. penawer : Si perjaka datang berkunjung ke si gadis yang sama-sama
saling suka ; b. Si perjaka memberikan tanda pengikat janji ; c. Melatos :
yaitu keluarga dari pihak laki-laki datang ke keluarga perempuan untuk
menetukan wkatu pengambilan.5
3. Pendidikan
Tradisi
masyarakat sasak pada usia di (pra sekolah) anak-anak mereka terlebih dahulu
diberitahukan pendidikan agama Islam. Pendidiakn agama ini dimulai dnegan
belajar mengaji (membaca al-Qur’an) dan tauladan praktek- praktek ibadah.
Pelajaran al-Qur’an biasanya dimulai dengan belajaralif,ba,ta (system belajar
mengeja ala al-bagdadi dna atau sekarang Iqra’). Kemudian pindah ke al-Qur’an
kecil ( Juz ‘Amma) lalu pindah ke al-Qur’an besar.
Setelah menyelesaikan
pendidikan al-Qur’an dan sejalan dengan pendidikan formalnya di sekolah dasar,
anak yang mampu (secara material) dan berminat memeperdalam pelajaran agamanya
mencari ulama (Tuan Guru) yang mempunyai pesantren. Kurikulum pendidiakn
pesantren terdiri ilmu alat (nahwu danshar qf),fiqih, dantauhid dan ilmu-ilmu
agama yang lainnya. Dan bagi mereka yang tidak masuk pesantren secara aktif
mengikuti pengajian- pengajian umum yang diadakan di masjid-masjid, mushalla
(santen), atau langgar-langgar. Pendidikan
non formal (terutama pendidikan agama) pada masayrakat Sasak telah erjalan lama
sejak pertengahan abad ke-19, ketika para guru mengaji (Tuan Guru) mengadakan
pengajian dengan system halaqah ala masjidil Haram Makkah di tempat tinggal
mereka. Para Tuan Guru ini biasanya mengajarkan al-Qur’an dan al-Hadits, Fiqih,
dan Tauhid dan juga Tassawuf.
Dalam
perkembangan lebih lanjut, gerakan pendidikan agama Islam mengalami kemajuan
yang pesat pasca kemerdekaan. Pada tahun 1950-an Tuan Guru Saleh Hambali di
Lombok Barat mendirikan Pesantren dan Madrasah Darul al-Qur’an di Desa Bengkel,
Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Majid di Lombok Timur mendirikan Pesantren
Nadhatul Wathan. Dan sejak itulah pesnatren-pesantren dan madrasah-madrasah
semakin menjamur, dengan memadukan system pendidikan tredisional (salafiah)
dengan system pendidikan modern.
Pranata
pendidikan agama di Lombok saat ini telah mampu sejajar dengan pendidikan umum
mulai dari tingkat para-sekolah (TK-RA), tingkat dasar (SD- MI), tingkat
menengah (SMP-MTS) atau (SMU-MA), dan bahkan di tingkat Perguruan Tinggi dnegan
keluarnya surat keputusan tiga Menteri serta rakyat diberikan kesempatan untuk
mengelola lembaga pendidikan.
4. Ekonomi
Sebagian
besar masyarakat Sasak bermata pencaharian hidup dari bertani kemudian nelayan,
kerajinan tangan, dan usaha dagang. Dan bahkan karena alasan ekonomi ini
masyarakat Sasak mernatau ke Negeri Jiran sebagai tenaga kerja dan buruh, Lahan
pertanian pada umumnya adalah tanah basah (subur) di Lombok Barat dan sebagian
besar Lombok Timur, sementara di Lombok Tengah sebagian besarnya adalah tanah
kering. System irigasi dna pengairannya masih snagat dipengaruhi oleh system
pembagian wilayah perairan (subag) Bali. Masing-masing wilayah pengairan
(subag) diatru system pembagiannya oleh seorang petugas yaitu pekasih. Dalam
melaksanakan tugasnya seorang pekasih diberikan menggarap sebidang tanah yang
disebut tanah pecatu6 dengan luas antara 3.500 M ² (50 are).
System
penggarapan tanah oleh masyarakat masih lebih banyak menggunakan pestisida.
Pada umumnya keluarga petani masih merupakan petani subsistem. Penggunaan
tenaga luar pada proses pembukaan dna penggarapan serta pada saat memanen.
Petani yang tidak mempunyai sawha atau mempunyai lahan sempit biasanya
bertindak sebagaipenyakap (pengaro) artinya mereka mengerjakan tanah orang lain
dengan cara bagi hasil atau ada yang sekedar mengambil upah menjaga (pengairan
dan pemeliharaan). Dan sebagian lai dari masyarakat petani ada yang bertani
dnegan system sewa dan ataupun beli tanah sementara (jangka waktu yang
ditentukan oleh pihak penjual dan pembeli).
Dalam
pembukaan sawah (turun bangket) pada pergantian musim kemarau ke musim hujan
pada sebagian masyarakat (secara khusus sebagian Lombok Barat) masih sangat
kental pengaruh budaya Hindu. Mereka menandai datangnya musim hujan dengan
membawa sesajian (pejawali) dan dirangakai dengan perang tupat (sasak topat) di
Lingsar Narmada Lombok Barat. Secara
umum ciri-ciri perekonomian masyarakat Suku Sasak yang tinggal di pedesaan
seperti :
1. Pembagian
kerja dlam bidang pertanian dan bidang-bidang produksi lainnya didasarkan pada
jenis kelamin dan usia ;
2. Kalkulasi
dan penentuan harga tidak diimbangi dengan penggunaan tenaga, waktu, peralatan,
dan personil. Perlindungan mereka lebih manusiawi daripada merenggut keuntungan
;
3. Kegiatan
perekonomian mereka terutama yang tinggal di pedesaan bertumpu ekonomi yang
bersifat normatif, yaitu kegaiatan yang sejalan dengan nilai-nilai umum
masyarakat. Dan mereka memperlihatkan hubungan erat dan saling ketergantungan
fungsional dengan kegiatan social ekonomi ;
4. Pola
konsumsi pada umumnya terdiri dari nasi, ikan, dan sayur-mayur. Makan buah
dianggap sebagai pelengkap. Bagi masyarakat petani mereka mendapatkan ikan
terkadang dengan barter dengan pedagang, sementara sayur-mayur dapat mereka
penuhi dari hasil yang ditanam di tanah persawahan ;
5. Makanan
pokok mereka adalah.
5. Agama dan Kepercayaan.
Tradisi
keagamaan yang berkembangan pada masyarakat Sasak pada umumnya dapat
diklasifikasinya kepada daua azas, yaitu :Pertama, tradisi kepercayaan yang
bersumber dari tradisi kepercayaan nenenek moyang ; Kedua, tradisi kepercayaan
yang bersumber dari idela Islam (Rukun Islam dan Rukun Iman). Kedua azas ini
bercampurbaur dalam praktek upacara-upacara serta keagamaan. Percampuran ini
kemudian melahirkan varian praktek Islam yang terikat kuat dengan pola-pola
piker ulama fiqih (hukum Islam) Empat Mazhab dan secara khusus Mazhab Imam
Syafi’i. Varian pertama kemudian disebut Islam Waktu (Wetu) Telu, sedangkan
varian kedua disebut Islam Waktu Lima.Fenomena keagamaan dari masyarakat Islam
Waktu Telu adalah masih tersisanya pengaruh ajaran agama tradisional pribumi,
sedangkan pada masyarakat Islam Waktu Lima lebih ditekankan pada
termanifestasikannya ideal Islam dalam pengertian normatifnya. Dalam praktek
peribadatan sehari- harinya, Islam Waktu Telu ini mempercayai dan menjalankan
syari’at Islam seperti sembahyang atau puasa, hanya saja pelaksanaannya
tersebuit dapat diwakili oleh para kyai dan penghulu, sementara masayrakat lain
terbebaskan.
Dalam pelaksanaannya sangat variatif ; ada yang melaksanakan
sembahyang Zuhur hanya pada hari Jum’at yang atau ada yang melaksanakan
sembahyang subuh pada dua hari raya kamis sore dan juga ada yang hanya
smebahyang subuh dua hari raya saja. Mereka berkumpul di masjid hanya pada dua
hari raya : Idul Fitri dan Idul Adha. Sementara itu puasa pada bulan Ramadhan
dilaksnakan tiga yaitu pada awal, tengah, dan akhir. Dan dalam penentuan
tanggal 1 bulan Ramadhan ada di antara mereka berpegang pada tanggalaboge (Rebo
Wage), dan Kamis Pahing untuk menentukan tanggal 2 Ramadhan, serta ada yang
berpegang pada Jum’at Pahing untuk tanggal 3 Ramadhan.
Di samping
ritual keagamaan di atas, terdapat beberapa ritus kepercayaan atau upacara-upacara
yang selalu dilakukan oleh masyarakat Islam Waktu Telu tersebut seperti ritus
yang terkait dengan pemahaman terhadap roh. Dalam pemahaman masyarakat Waktu
Telu leluhur nenek moyang masih hidup ro yang disebut alam halus yang suci dna
keramat. Untuk mencapai harus dilakukan mencapai roh nenek moyang yang telah
meninggal harus dilakukan ritual-ritual setelah kematian (gawe pati) yang
dilaksanakan pada hari kematiannya (nyelamat gumi) pada hari ke tiga, hari ke
tujuh, ke sembilan, ke empat puluh, ke seratus, dan ke seribu setelah
kematiannya.
Berbeda
dengan varian Islam Waktu (Wetu) Telu di atas, varian Islam Waktu Lima
merupakan varian keagamaan yang didominasi oelh ajaran Kitab Suci (al-Qur’an
al-Karim) dan Sunnah Rasulullah. Al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci yang
diwahyukan oelh Alllah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai primer hukum Islam.
Sedangkan Hadits Nabi (Sunnah Nabi) yang merupakan ucapan dan tindakan serta
ketetapan Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai penjelas kitab suci dan menjadi
sumber sekunder hukum Islam. Kelompok penganut penganut Islam Waktu Lima ini
merupakan kelompok mayoritas yang membangun system kepercayaan pada pemahaman
secara ketat Rukun Iman dan Rukun Islam. Mereka menjalankan ritus-ritus
keagamaan seperti syahadat, shalat, puasa, berzakat, dan berhaji sesuai dengan
apa yang disyari’atkan. Dan mereka pada umumnya adalah penganut Ahlussunnah wal
Jama’ah.
Namun demikian dalam prakteknya, selain ritus-ritus keagamaan
(ibadah mahdaha) yang menjadi indikator pembeda kedua varian keagamaan di atas
terdapat sejumlah praktek ritual lainnya merupakan pengaruh dari system
kepercayaan dan budaya local. Berbagai ritus yang dilakukan oleh masyarakat
Islam Waktu Lima ada yang terkait dengan peristiwa penting dalam sejarah
perkembangan Islam seperti peringatan Nuzul al-Qur’an (peringatan turunnya
al-Qur’an), Isra’ Mi’raj (perjalanan nabi di waktu malam dari Masjid al-Haram
ke Masjid al-Aqsa di Palestina dan naiknya Nabi ke Bait al-Izzah menghadap
Allah), Maulid Nabi (Kelahiran Nabi SAW), ada juga yang terkait dengan
peralihan hidup manusia dari satu tahapan ke tahapan lainnya. Upacara-upacara
tersebut seperti peringatan kehamilan tujuh bulan kelahiran, sunatan,
perkawinan, dan kematian. Upacara-upacara tersebut dilaksanakan sangat variatif
sesuai denagn kemampuan. Orang kaya (mampu), misalnya menyambut dan merayakan
kelahiran anaknya dengan acara besar segala keramaiannya terutama anak pertama.
Hal ini biasanya dilaksanakan pada saat anak berumur tujuh hari, dan dalam
acara ini dibacakan kitab Barzanji oleh agama (Tuan Guru atau Kiai) dan
diadakan acara potong rambut (ngurisan) dan ini biasanya disebut Aqiqah dalam
konsep Islam. Sementara bagi masyarakat lemah acara ngurisan biasanya dilakukan
pad asaat hari-hari besar di masjid-masjid mereka.
Dalam
tradisi masyarakat Islam Sasak membaca kitab Barzanji juga dilakukan pada saat
akan menempati rumah baru, akan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, atau
momentum-momentum lainya. Prosesi lain yang terkait dengan peralihan kehidupan
adalah diadakannya upacara perkawinan dengan berbagai tahapannya, dan juga
diadakan diadakan upcara kematian. Dalam upacara ini muatan-muatan Islam
(shadaqah, ta’ziah, zikir, dan do’a) dan atau cara-cara pelaksanaannya lebih
banyak ditampilkan cara-cara adat. Pada hari- hari kematian lebih banyak
diadakan Tadarus al-Qur’an, yaitu membaca dnegan tartil dna melagu menurut
tajwid dilakukan secara bergilir. Tujuan utama dari upacar ini adalah
memberikan barkah kepada arawah orang yang telah meningal dan penyebaran
syariah Islam. Dan dapat pula rangkaian acara tersebut sebagai bentuk Ta’ziah
terhadap ahli waris yang ditinggalkan.
d. Pranata Kultural Penyelesaian
Sengketa
Bagi
masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok pranata penyelesaian sengketa (konflik)
di bidang pengairan, maka lembaga penyelesaian sengketa disebut “Rembuq Subag”.
Pranata rembuq subag dipergunakan oleh masyarakat Suku Sasak dalam rangka
menyelesaikan sengketa air (pesiak aik) penggunaan “rembuq subag” tersebut yang
bertindak sebagai hakim adalah “pekasih”. Pekasih sebagai hakim pengadil di
tingkat subak diangkat oleh masyarakat desa (khususnya pengguna air) dengan
masa waktu jabatan yang terbatas lamanya, sehingga tidak musathil seorang
“pekasih” baru diganti manakala telah meningal dunia. Seorang pekasih bagi
masyarakat Suku Sasak adalah figur seorang yang faham tentang pengairan, tokoh
yang jujur, dan adil, serta dapat mengemong (mengayomi) semua pihak putusan
“rembuq subag” disebut “ngemong”
Sedangkan
lembaga penyelesaian sengketa di bidang arisan dan perkawinan bagi mayarakat
Suku Sasak adalah “Majelis Adat Dese” atau “Kerama Desa atau Kerama Gubuk”.
Anggota Majelis Adat Dese atau Kerama Dese atau Kerame Gubuk diangkat oleh
masyarakat dari unsur tua-tua adat, tokoh masyarakat, tokoh- tokoh agama, dan
formal pemerintahan. Pranata “Majelis Adat Dese” atau “Kerama Desa” atau
“Kerama Gubug” juga dipergunakan sebagai lembaga yang menyelesaikan atau
mengadili sengketa di bidang kepidanaan, misalnya perkelahian missal (mesiat),
terjadinya pelanggaran adat yang meresahkan masyarakat (Ngeletuhing Jagar) atau
Ngaweng pati (memanggil maut).
e. Prosedur dan Prinsip-Prinsip
Penyelesaian Konflik
Pranata
local penyelesaian sengketa (konflik) Suku Sasak dalam melaksanakan tugasnya
tidak bergantung pada ada tidaknya kasus yang diaukan kepadanya pada ada
tidaknya kasus yang diadukan kepadanya, artinya “Rembug Subakatau
Kerama Desaatau Kerama Gubug” dalam melaksanakan tugasnya harus pro aktif dalam
mengantisipasi terjadinya sengketa, oleh karena itu sebelum adanya sengketa pun
lembaga ini melaksanakan fungsinya secara aktif.
Jika terjadi
sengketa atau konflik yang diketahui terjadi (dan diadukan kepadanya), maka
Pekasih atau Ketua Kerama Dese atau Kerama Gubug melakukan pemeriksaan perkasra
(kasus) tersebut dengan mengundang seluruh anggota Kerama Desa dan pihak yang berkepentingan
(yang bersengketa) dalam suatu pertemuan yang disebut dengan istilah “Sangkep
atauBegundem” atau musyawarah. Sangkep atau Begundem tersebut diadakan pada
malam hari di satu tempat yang netral yang biasanya di tempat “sekenem (rumah
panggung berkaki enam) atau masjid”.
Dalam proses sangkep dan begundem dilalui melalui
sedikitnya 3 fase, yaitu :
1. Pihak yang dihadiri bersengketa mengemukakan
masalahnya masing-masing dengan dihadiri pula dengan saksi-saksi yang
meringankan atau yang memberatkan.
2. Kemudian masing-masing anggota “kerama” memberikan
fatwa berdasarkan hukum adat dan fatwa agama keapada yang bersengketa agar
bersedia berdamai atau menaati hukum adat ynag berlaku. Proses pemberian fatwa
ini dinamakan ”petinang wadi temah”.
3. Setelah proses pemeriksaan (musyawarah) selesai, maka
akan diakhiri dengan pemberian keputusan, yaitu keputusan berupa perdamaian
(soloh) atau penjatuhan hukuman.
Kesepakatan damai (soloh) tersebut sangat mengikat
baik individu yang bersengketa mauoun terhadap masyarakat dan oleh karena itu
acapkali keputusan “soloh” mempunyai kekuatan hokum yang sangat kuat karena
acapkali dijadikan landasan hukum oleh pengadilan. Keputusan lain yang mungkin
dijatuhkan oleh “Kerama” adalah dengan pemberian hukuman berupa denda dnegan
mempergunakan standar uang bolong (kepeng) dan hewan atau dedosan. Sedangkan
bagi masyarakat yang melakukan kesalahan besar seperti Ngeletuhing Jagad-
meresahkan dunia, misalnya perzinaan, penduruan, dan lain-lain, maka hukumannya
berupa diasingkan dari masyarakat (eteh selon).
Pemeriksaan atau persidangan kasus-kasus oleh “Krama
Desa” dilakukan secara terbuka dimana seluruh anggota kerama dan masyarakat
boleh menyaksikan baik yua maupun muda, pria maupun wanita, dan benar-benar
dilaksanakan secara kekeluargaan, suasana silaturrahmi, tidak memihak, dan
cepat serta sederhana.
f. Faktor-Faktor Yang Memperngaruhi Masyarakat Suku Sasak
Mempergunakan Pranata Lokal Dalam Penyelesaian Sengketa.
Menurut data penelitian di Pulau Lombok yang dilakukan
penelitian pada etnis Sasak, ada beberapa factor yang mempengaruhi masyarakat
menyelesaikan konfliknya kepada pranata cultural, yaitu :
1. Penghormatan kepada system nilai
hokum adat dan nilai-nilai agama yang meresap di sanubari masyarakat Sasak yang
dikenal sebagai masyarakat yang patuh dan taat beribadah dab pulaunya dijuluki
“Pulau Seribu Masjid”.
2. Adanya penghormatan yang tulus
dna tinggi kepad apemuka agama (Tuan Guru). Pemuka adat dan masyarakat
(Penghulu Desa) yang akan mampu menyelesaikan konfliknya secara damai dan
jujur.
3. Untuk menjaga hubungan
“silaturrahmi” dan menjaga hubungan agar tidak terputus (sifat anak empat tao
pesopok dirik).
4. Menghindari adanay istilah “kalah
dan menang dalam perkara” yang dapat merugikan kedua belah pihak.
g.
Kasus Sengketa Yang Diselesaikan Melalui Pranata Lokal
Beberapa kasus sengketa yang menjadi kompetensi Kerama
Gubug atau Kerama Desa atau Rembug Subak, yaitu di bidang pengairan bagi
masyarakat Sasak sepenuhnya menjadi kompetensi mengadili dari “Rembig Subag”
yang termasuk dalam bidang hokum keperdataan. Sedangkan bagi Kerama Dea atau
Kerama Desa kompetensinya meliputi sengketa di luar masalah pengairan, baik
perkara yang berdimensi perdata adapt aupun delik adat (pidana adat).
Perkara
berdimensi perdata adat, antara lain : sengketa perkawinan (merari’), sengketa
waris (bagi ahli waris), dan lain-lain. Sedangkan dalam konflik yang berdimensi
pidana meliputi tawuran dan pembunuhan secara missal (mesiat), perbuatan perzinahan atau kesusilaan dan moral (bekekaruh), dan
meresahkan dunia (ngeletuhing jagat).
SEMOGA bermanfaat
catatan kaki :
1 Aji krame terdiri dari dua suku kata : aji dan karma. Aji berarti harga atau nilai
sedangkan karma berarti suci atau terkadang berarti aerah atau kesatuan penduduk dalam suatu wilayah dalam wilayah adat. Dengan demikian Aji Krama berarti lambing adat atau nilai suci dari suatu strata social adat sasak berdasarkan wilayah adatnya.
2 Fat Zakaria, Mozaik, hal 184
3 Gde Parman, Kitab Adat Sasak Dulang I Perkawinan. Aji Kraka Pembayun, Cendrasengkala, Mataram, Lembaga Pembakuan Dan Penyebaran Adat Sasak Mataram Lombok, 1995, hal 23-24.
4. Kata merari’ diambil dari kata “lari” , berlari. Merari’ berate mela’iang artinya melarikan. Seseorang yang akan merari’ dalam adat Sasak seyogyanya menaati aturan dan tata karma. (awiq-awiq). Awiq-awiq itu antara lain : a. Perempuan di rumahnya (ruamh ibu-bapaknya) tidak boleh diambil di sekolah, tempat orang pesta atau persantaian. b. Kedua pihak yang akan merari’ memang saling suka dan cinta. c. harus diambil di malam hari dan tidak boleh lewat dari jam 23.00 (11.00 malam). d. Perempuan yang diambil harus didampingi oleh wanita lain (tidak boleh sendriran) dan tidak boleh dibawa langsung ke rumah pengantin laki-laki (pesebok). e. Kedua pengantin yang merari’ tidak boleh saling berdekatan sebelum dilaksanakan akad nokah. f. Segera mungkin (maksimal 3 hari untuk yang dekat dan 7 bhari bagi yang jauh)nharus sudah diberitahukan (selabarkan) ke pihak perempuan (Gde. Parman, Kitab Adat, hal 16-17)
5 Ibid Hal 10-11
6 Tanah pecatu adalah tanah adapt yang diberikan kepada seseorang karena mereka baik dalam bidang agama (penghulu), kebudayaan dan peran sosisal seperti keliang (kepala dusun) atau pekasih. Kepemilikan terhadap tanah pecatu ini bersifat sementara sebab bila bila tokoh tersebut mengundurkan diri dari tugas-tugasnya, maka menggarap tanah pecatu tersebut berpindah ke tangan petugas baru yang menggantikannya.